Dapatkan Mesej Bergambar di Sini

Selasa, 03 Maret 2009

Makar Ahlul Kitab (Sebuah Lintasan Sejarah)


"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah: 120).


Sejarah Berbicara


Bentuk ketidakrelaan Yahudi dan Nasrani dapat dibuktikan melalui fakta sejarah, berlangsung dari "doloe" hingga kini, kadang tidak diperlukan analisa tinggi untuk memahaminya, masyarakat awam juga bisa membaca fakta yang "kasat mata" itu.


Konflik hubungan Islam dengan Yahudi mulai memburuk terutama sejak mereka melakukan konspirasi bersama pasukan kafir Mekah untuk memusuhi kaum Muslim di Madinah hingga akhirnya mereka diusir dari Madinah dan Khaibar. Peristiwa Khaibar di kemudian hari menjadi satu peristiwa paling traumatis dan mewariskan dendam kesumat orang Yahudi hingga berabad-abad.


Pada masa sahabat, Yahudi melakukan infiltrasi dengan cara menyusup ke tengah-tengah barisan Islam. Puncaknya, mereka berhasil membunuh Khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khatthab. Mereka juga berhasil membangkitkan fitnah atas diri Utsman bin Affan, dan mempertajam pertentangan antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan. Tidak hanya sampai di situ, mereka bahkan menyusup ke barisan Syi'ah dan kelompok-kelompok militan lainnya dengan pola provokasi agar kelompok-kelompok itu melakukan perlawanan, baik terhadap idiologi maupun institusi as-sawad al-a'dham (kelompok mayoritas) saat itu.


Sedangkan konflik pertama kali dengan kaum Nasrani terjadi pada Perang Mu'tah (8 H) dan Perang Tabuk, melawan tentara Romawi (Bizantium). Perang Mu'tah terjadi karena al-Harits ibnu Umair al-Azady yang diutus Nabi untuk membawa surat kepada pemimpin Bushro, namun dalam perjalanan dihadang Syurahbil bin Amr al-Ghassany, pemimpin al-Balqa', masuk wilayah Syam di bawah pemerintahan Kaisar Romawi. Syurahbil mengikat al-Harits dan membawanya ke hadapan Kaisar, lalu dia memenggal lehernya. Padahal, membunuh duta merupakan kejahatan yang amat keji dan sama halnya mengumumkan perang.


Penasaran atas kekalahan mereka dalam perang Mu'tah, Nasrani, dibawah Komando Raja Romawi Hiraqla, bermaksud menyerang Madinah. Namun, mereka buru-buru mundur teratur saat mendengar Rasulullah telah siap siaga menghadang mereka di Tabuk dalam jumlah pasukan yang besar, sebuah perbatasan antara Jazirah Arab dan Syam.


Perang berikutnya terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar yang dikenal dengan perang Yarmuk. Di bawah pimpinan Khalid bin Walid, umat Islam menang telak hingga Raja Hiraqla melarikan diri ke Konstantinopel sambil berlinang air mata.


Pada masa kekhalifahan Umar bin Khottob umat Islam berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari kekuasaan Nasrani Romawi, buah dari paket ekspansi terhadap yang menghalangi gerakan dakwah Islam. Jatuhnya Jerussalem yang merupakan tanah kelahiran Nabi Isa as ditambah takluknya wilayah Balkan di Eropa Timur oleh pasukan Bani Umayyah serta semenanjung Liberia Spanyol pada awal 700-an M membuat masyarakat Nasrani marah dan selalu berusaha merebutnya kembali, maka lahirlah perang salib. Dengan memanfaatkam momen konflik internal umat Islam, Perang Salib berlangsung selama berabad-abad dan baru reda pada abad ke-16. Alhamdulillah, meski melalui perjuangan panjang dan berliku, umat Islam kembali memenangkan peperangan di bawah komando Shalahuddin al-Ayyuby.


Imperialisme Modern


Usaikah peperangan? ternyata belum, karena sesudah itu ada perang salib gaya baru berupa ekspedisi kolonialisme bangsa Eropa ke dunia muslim. Inggris menjajah India, Mesir, Irak, Yordania, dan Malaysia. Prancis menjajah Suriah, Libanon. Belanda menjajah Indonesia setelah sebelumnya dijajah Portugis; Spanyol menjajah Moro dan seterusnya. Tampaknya mereka banyak belajar dari sejarah, bahwa sulit sekali mengalahkan umat Islam di medan pertempuran sepanjang Akidah masih berakar dalam sanubari mereka.


Seiring penjajahan atas negeri muslim, mereka melakukan serangkaian program strategis, tentu semua tak lepas dari misi idiologi, seperti missi 3 G yang sangat terkenal: Gold-Glory-Gospel.


Program tersebut, misalnya, selain berupa eksploitasi kekayaan alam, juga berupa dikotomi pendidikan antara pendidikan agama dan ilmu pengetahuan umum. Ibarat bom waktu, praktik ini berdampak pada lahirnya kader "intelektual " yang tidak memiliki kepahaman dan kejuangan akan dien, padahal di kemudian hari mereka banyak tampil mengisi jabatan-jabatan strategis dan bahkan memimpin negeri muslim dalam format nation state yang sekuler. Di sisi lain, lahir kaum "ahli dien" yang tidak mendapatkan tempat strategis dalam negara--kalau tidak dikatakan kurang mampu memimpin--serta terkesan hanya sebagai 'assesoris' dalam ritus formal kagamaan. Kaum ini bahkan sering digambarkan sebagai simbol kemunduran dengan performa lusuh dan menggelikan.


Aspek lain yang mereka serang adalah moralitas (akhlak) masyarakat muslim. Orientalis Syatilyn memberikan statement yang cukup terkenal, "Gelas dan artis mampu menghancurkan umat Muhammad daripada seribu meriam, maka tenggelamkanlah umat Muhammad ke dalam cinta materi dan syahwat." Hidupnya kolonial di tengah-tengah negeri muslim dengan jargon kemajuan otomatis memberikan inspirasi bagi masyarakat muslim dalam mengartikan arti "kemajuan" itu sendiri yang oleh bangsa penjajah diwujudkan dengan memberikan contoh dalam bentuk pergaulan bebas, mabuk-mabukan, dan perilaku amoral lainnya.


Aspek lain adalah "Invasi Pemikiran" (Gozwul Fikri). Mereka belajar dari resep kemenangan Islam, tak lain adalah akidah sahihah yang selalu melandasi setiap perilakunya, juga jiwa merdeka dari perbudakan sesama manusia serta semangat "hidup mulia atau mati syahid". Dalam kesimpulan mereka, sepanjang "ruh" dari resep tersebut masih mengurat mengakar pada setiap pribadi muslim, maka kekalahan episode berikutnya adalah sebuah keniscayaan.


Karenanya, missionaris Zwimmer pada konferensi yang diselenggarakan negara-negara imperialis di kota Al-Quds menyatakan, "Tugas besar di pundak missionaris yang dikirim negara-negara Nasrani ke negara-negara Islam ialah mengeluarkan umat Islam dari keislamannya agar ia menjadi manusia yang tidak memiliki hubungan dengan Allah. Dengan sendirinya ia kemudian tidak berpegang teguh kepada akhlak yang merupakan lambang suatu bangsa dalam kehidupan." Gladston dengan bahasa lain, "Sesungguhnya kepentingan Eropa di Asia Jauh dan Tengah tetap terancam selama di sana masih ada Alquran yang dibaca dan ka'bah yang kerap dikunjungi." Louis IX berpesan kepada negara Eropa: "Kalian tidak mungkin dapat mengalahkan kaum muslimin di medan perang, kalian harus mengalahkan mereka terlebih dahulu di medan pemikiran. Setelah itu akan mudah bagi kalian untuk menguasai mereka. Dan, mereka adalah kaum yang hati-hati terhadap bius-bius budaya kalian."


Invasi itu berupa tayskik (menanamkan keragu-raguan dan pendangkalan Islam), tasywih (menghilangkan kebanggaan umat Islam terhadap diennya dengan, misalnya, pencitraan negatif bahwa Islam kejam, teroris...), tadzwib (pencampuradukan antara haq dan bathil hingga membingungkan umat Islam dalam memilih) dan taghrib (pembaratan dunia Islam dengan mendorong umat Islam agar menerima pemikiran dan budaya Barat, seperti sekulerisme, nasionalisme dan sebagainya).


Secara teknis, antara lain melalui kaderisasi putra-putri terbaik Islam dengan memberikan beasiswa untuk belajar Islam di negeri Barat, yang tentu saja penuh distorsi. Dengan "bekal" legalitas intelektual, sepulang dari study, kader-kader tersebut akhirnya lebih banyak menyuarakan islam versi Barat, didukung hegemoni musuh akan media massa, menjadikan mereka cepat melejit dan selalu menjadi referensi umat untuk klarifikasi atas wacana keislaman yang aktual. Kadang hal itu tidak disadari oleh mereka, karena yang rusak pola pikirnya (tashowwur). Fitnah syubuhat (kesamaran, keraguan akan prinsip Islam) akhirnya "mewabah", sebagai efek domino dari invasi tersebut. Tragisnya, reaksi balik dari ulama' yang hanif dan kredibel tidak seimbang, tampaknya disamping karena tidak didukung sarana/kemampuan teknis yang memadahi, juga diakibatkan lemahnya iradah.


Natijahnya, saat strategi imprialisme modern berlangsung lama, disadari atau tidak, sebuah kekalahan menimpa negeri muslim hampir pada setiap lini kehidupan, mulai dari menjangkitnya paham nasionalisme sekuler di kalangan muslim yang berujung dengan mencampakkan hukum Allah, fitnah syubuhat, krisis akhlak yang akut, kekayaan alam yang sudah terkeruk hingga menghantarkan masyarakat muslim pada jurang kebangkrutan, kebodohan, dan ketertinggalan, serta ketergantungan.


Pelita yang Runtuh


Di antara "prestasi" spektakuler kerja sama Yahudi Nasrani adalah tumbangnya lembaga Khilafah Turki Utsmani. Kamal at-Taturk, "pemimpin masa depan", demikian mereka menjuluki, resmi membubarkan dan menggantinya dengan sistem sekuler 13 Maret 1924, setelah sebelumnya tampil sebagai sosok pahlawan yang dielu-elukan karena dianggap telah mengembalikan kewibawaan Turki dari kekalahan memalukan pada PD I 02 Agustus 1914 M. Tentu itu sekenario yang disiapkan dengan membuat perang jadi-jadian yang berakhir pada kemenangan Kamal, sebuah modus yang biasa dilakukan, baik dalam perjuangan idiologi maupun politik.


Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu dengan sangat sadar, dalam pandangan mereka, meski institusi khilafah mengalami degradasi dari idealismenya, namun peran pengawal dien dan simbol persatuan Islam sedunia begitu kuat pengaruhnya. Tentu ini merupakan ganjalan bagi cita-cita idiologi mereka, khususnya Yahudi yang terobsesi mendirikan Israel Raya di tanah suci Islam Palestina setelah sebelumnya watak dasar yang mereka miliki meghantarkannya menjadi "gelandangan" terlunta-lunta.


Yang pasti, dua fungsi khilafah, hirasatud dien (pengawal dien) dan siyasatud dunya bid dien (memanage dunia dengan visi dien) menjadi lumpuh; pelecehan terhadap ajaran Islam tidak bisa ditindak; pembantaian terhadap umat Islam menjadi pemandangan sehari-hari tanpa umat bisa berbuat banyak, kecuali hanya bersifat seruan moral.


Penutup


Terlalu singkat dan sederhana paparan sejarah ini dalam menggambarkan makar ahlul kitab. Ada ratusan bahkan ribuan kiat menghancurkan Islam yang belum tersaji, namun sekurang-kurangnya fakta sejarah ini dapat membuka mata sekaligus menambah keimanan kita dari pernyataan Allah dalam QS Al-Baqarah: 120 di atas. Secara kauniyah, bahwa permusuhan itu berkesinambungan hingga kini, misalnya dapat dilihat pada tragedi-tragedi yang menimpa umat Islam di banyak belahan dunia seperti Palestina, Bosnia, Kosovo, Chechnya, Kasymir, Moro, Ambon, Poso, dan sekarang Afghanistan, disamping perang pemikiran yang juga masih berlangsung.


Dengan demikian, kita tidak tertipu oleh arus pembonsaian dan peninabobokan oleh sekelompok orang, tokoh, atau lainnya atas nama toleransi agama, pela-gandong dan seribu satu istilah lainnya, sementara sosialisasi permusuhan di pihak mereka terus berjalan, baik melalui tempat ibadah, institusi pendidikan--seperti yang dilakukan Teo Syafi'i beberapa waktu lalu--atau pesan-pesan hiburan semacam true list, the siege, dan media lain. Hingga kini permusuhan belum usai.


"(Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup." (Al-Baqoroh: 217). (Abu Zahrah)


Referensi:


  1. Alquran al-Karim
  2. Ar-Rahiq al-Makhtum Bahtsun fis Sirah an-Nabawiyah, Sofiyurrahman al-Mubarakfury
  3. Wajah Dunia Islam dari Dinasti Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern, Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil
  4. Demonologi Islam Upaya Barat membasmi Kekuatan Islam, Asep Syamsul M Romli, S.I.P.
  5. Tarbiyah Jihadiyah, Abdullah Azzam
  6. Al-Imamah al-Udzma, Abdullah bin Umar ad-Damijy
  7. Majalah Suara Hidayatullah, 2/2000, 11/2000
  8. Berbagai sumber lain.


Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar