Dapatkan Mesej Bergambar di Sini

Kamis, 12 Maret 2009

Bolehkah Ibadah Hanya Karena Mencari Surga Belaka?


Mungkin banyak diantara kita yang masih sering bertanya-tanya, apakah diperbolehkan sebagai seorang hamba Allah dan sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya, kita beribadah hanya demi mengejar amal dan pahala untuk dapat masuk ke dalam surga, dan juga dikarenakan takut akan dimasukkan ke Neraka yang telah Allah ‘Azza wa Jalla sediakan?

Ada dua macam pendapat mengenai masalah tersebut, dimana satu pendapat tidak membenarkan seorang hamba beribadah kepada Allah karena hanya ingin mengejar pahala dan untuk dapat masuk ke dalam Surga. Pendapat lainnya adalah yang membolehkan beribadah semata-mata untuk masuk ke Surga dan terhindar dari adzab siksa Neraka.

Menurut pendapat mereka yang tidak membenarkan, ketika seorang hamba beribadah kepada Allah demi pahala dan amal semata-mata hanya untuk dapat masuk Surga, maka dapat dikatakan kalau ia dalam menjalankan apa-apa yang diperintahkan dan dilarang Allah Ta’aala adalah dengan pamrih, atau tidak karena Allah. Sementara bila kita ingin mencintai Allah dan supaya Allah cinta kepada kita, maka segala sesuatu yang kita kerjakan adalah semata-mata karena Allah (Lillaahi ta’aala) dan tidak ada embel-embel lainnya. Mencintai (Mahabbah) Allah adalah menjalankan apa yang Allah wajibkan kepada kita tanpa adanya keinginan untuk meminta hak kita kepada-Nya. Apakah nanti kita akan mendapatkan pahala dari setiap amal yang dikerjakan, maka segala sesuatunya dikembalikan kepada Allah semata.

Sebaik-baiknya tujuan seorang manusia dalam beribadah dan penghambaan kepada AllahRabbul’idzaati adalah supaya Allah menurunkan rahmat-Nya. Karena bila Allah memberikan rahmat maka dipastikan itu akan turun beriringan dengan ridha Allah terhadap hamba-Nya, dan keluasan ridha-Nya jauh lebih besar dari Surga dengan segala isinya. Hal itu seperti yang difirmankan Allah dalam Al Qur’an di surat At Taubah (9) ayat 72, “Wa ridhwaanum minallaahi akbaru dzaalika huwal fauzul ‘azhiim.” Atau diartikan: Dan keridhaan daripada Allah adalah lebih besar; demikian itulah keberuntungan yang besar.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Lan yadhula ahadukumul jannata bi ‘amalihi”. Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya semata-mata. Kemudian salah seorang bertanya, “Wa laa anta yaa Rasuulallaahi?” Tidak pula engkau ya Rasulullah? Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Wa laa anaa illa an yataghamada niiyallaahu bi rahmatihi.” Tidak juga aku, kecuali jika Allah mengkaruniai aku dengan rahmat-Nya.

Juga di dalam surat Aali ‘imraan (3) ayat 142, Allah berfirman, “Am hasibtum an tadkhulul jannata wa lammaa ya’lamillaahul ladziina jaahaduu minkum wa ya’lamash shaabiriin.” Diterjemahkan sebagai: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Surga padahal belum nyata bagi Allah siapa orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.

Banyak mengerjakan amal shaleh adalah salah satu sarana seorang manusia dapat masuk ke dalam Surga, dan juga dapat mengundang ampunan Allah kepada seorang hamba. Dengan adanya ampunan Allah tersebut, maka itu akan memberi jalan bagi turunnya pahala yang berlimpah, dan pahala yang terbesar nilainya tidak lain adalah rahmat Allah Rabbul’aalamiin. Dengan turunnya rahmat Allah, maka hal itu akan memasukkan ia ke dalam Surga yang penuh dengan berbagai kenikmatan atau Jannatun Na’im.

Sedangkan menurut mereka yang memperbolehkan ibadah demi amal dan pahala untuk dapat masuk ke Surga serta terhindar dari siksa api Neraka, berpendapat bahwa setiap amal kebajikan yang dikerjakan seorang manusia akan menjadikan pahala. Akibatnya tanpa disadari atau tidak, seorang hamba akan selalu berprasangka baik terhadap setiap amal yang dikerjakannya sehingga akan mengakibatkan adanya lintasan harapan kepada amal tersebut. Tentunya dengan sebuah pengharapan kalau amal yang dikerjakannya akan dapat memasukkannya ke dalam Surga dan melepaskannya dari adzab Neraka. Hal ini telah difirmankan Allah Subhaanahu wa Ta’aala dalam Al Qur’an di surat An Nahl (16) ayat 97, “Man ‘amila shaaliham min dzakarin au untsaa wa huwa mu’minun fa la nuhyi-yannahuu hayatan thayyibataw wa la najziyannahum ajrahum bi ahsani maa kaanu ya’maluun.” Diterjemahkan: Barang siapa yang berbuat kebaikan dari laki-laki atau perempuan dan dia mukmin, niscaya Kami menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan Kami memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.

Berusaha mencapai Surga dan menyelamatkan diri dari api Neraka adalah tujuan utama dalam beribadah seperti yang diharapkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari ummatnya, itu adalah manifestasi atau pengakuan keimanan seorang hamba. Dapat dikatakan kalau Iman adalah perantara atau penghubung (wasilah) yang paling agung untuk menyelematkan diri dari ancaman api Neraka dan masuk ke dalam Surga. Karena itu sesuai dengan apa yang difirmankan Allah dalam surat Aali ‘Imraan (3) ayat 16, “Alladziina yaquuluuna rabbanaa innanaa aamannaa fagh fir lanaa dzunuubanaa wa qinaa ‘adzaaban naar.” Diterjemahkan: (Yaitu) orang-orang yang berkata (berdoa’a), “Wahai Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari adzab Neraka”.

Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada ummatnya untuk meminta kepada Allah perlindungan dari siksa api Neraka dalam haditsnya, “Ista’iidzuu bil laahi minan naari.” Dan Nabi pun telah mendorong para sahabat dan ummat beliau untuk berupaya mencari Surga dengan menerangkan dan menjelaskan sifat-sifat serta kebaikan-kebaikan Surga kepada mereka, dengan maksud supaya para sahabat dan kita ( tentunya) tertarik untuk masuk ke dalam Surga. Karena sesungguhnya Allah mencintai para hamba-Nya yang senantiasa memohon kepada Allah akan Surga-Nya, serta berharap akan perlindungan-Nya dari ancaman siksa api Neraka. Dan barang siapa yang tidak memohon kepada-Nya, maka Allah akan murka kepadanya, seperti yang difirmankan dalam Al Qur’an di surat Al Mu’min (40) ayat 60, “Wa qaala rabbukumud’uuni astajib lakum innal ladziina yastakbiruuna ‘an ‘ibaadatii sa yadkhuluuna jahannamaa daa-khiriin.” Diterjemahkan sebagai: Tuhan kamu (Allah) berfirman, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya Aku perkenankan bagimu. “ Sesungguhnya orang-orang yang takabbur dari menyembah-Ku, mereka akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina.

Dalam sebuah hadits Qudsi, dijelaskan bahwasanya Allah Ta’aala setiap malam turun ke langit dunia untuk berseru kepada hati manusia tentang bagaimana menggapai cinta-Nya dan berkata, “Man dzaalladzi yathlubunaa fa nathlubu wa man dzallaadzii yuhibbunaa fa nuhib-buhu wa mandzalladzii yastaghfirunaa fa naghfiru lahu”. Atau diartikan sebagai: Barang siapa mencari Aku, Aku akan cari dia; barang siapa mencintai Aku; Aku akan cintai dia; dan barang siapa meminta ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni dia.

Jadi apakah kita sebagai seorang hamba boleh beribadah kepada-Nya hanya supaya terhindar dari siksa api Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga? Dan apakah boleh kita beribadah semata-mata hanya untuk mengejar amal demi mendapatkan pahala supaya dapat masuk ke Surga dan dijauhkan dari adzab Neraka? Jawabannya adalah boleh saja. Namun alangkah lebih baiknya apabila kita beribadah kepada Allah tidak semata-mata hanya karena ingin dimasukkan ke dalam Surga, melainkan kita beribadah dikarenakan ingin mendapatkan rahmat dan ridha-Nya, karena itu adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap hamba yang mengaku beriman kepada Allah Tabaraaka wa Ta’aala.

Seorang hamba harus mempunyai sikap untuk selalu memperhatikan apa-apa yang akan membuat Allah senang kepadanya sehingga akan mendapatkan ridha dari-Nya, tetapi juga harus menjaga hal-hal yang akan membuat Allah murka kepadanya serta dapat mengakibatkan turunnya adzab bagi dirnya. Dengan adanya sikap demikian itulah, maka seorang hamba yang beriman akan selalu bisa untuk memeriksa dan mengkoreksi (Muhasabah) dirinya sendiri sehingga muncul nantinya suatu kesadaran terhadap kesalahan yang dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulanginya kembali.

Masalah muhasabah itulah yang sering diingatkan oleh khalifah ke dua sepeninggalnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khatab Radhiyallaahu ‘Anhu yang dijuluki sebagai Al-Faruq atau manusia yang memisahkan antara yang haq dan yang bathil, beliau berkata, ”Haasibu anfusakum qabla an tuhaasabuu”. Diterjemahkan sebagai: Hitung-hitunglah dirimu sebelum engkau diperhitungkan. Atau sering diartikan: Hisablah diri kalian, sebelum diri kalian dihisab.

Bagi kami di majelis dzikir Baitul-Ikhlas yang sedang berupaya untuk belajar ibadah sehingga dapat menata diri, dalam menjalankan dan melaksanakan penghambaan kepada Allah selalu diingatkan oleh Aa’ Reza, bahwa seutama-utamanya ibadah tiada lain supaya Allah menurunkan rahmat-Nya dan untuk kita mendapatkan ridha-Nya
Sumber : http://baitul-ikhlas.com/content/view/58/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar