Dapatkan Mesej Bergambar di Sini

Jumat, 20 Februari 2009

Haramkah Gaji Pegawai Negeri?

Keharamnya barang ada dua macam, pertama haram li'ainih (materinya) dan haram lighairih. Masuk manakah PNS?

Tanya:

Assalamu alaikum

Ayah selalu menghimbau dan memperingatkan saya, agar kelak nanti tidak memilih profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kata beliau "gaji PNS Haram". Apa betul gaji PNS itu haram karena berasal berbagai pendapatan Negara yang di tengarai haram?. Bagaimana ustadz memandang hal ini? syukron

Adi - Madiun

Jawab:

Waalaikum salam Wr.Wb.

Mas Adi yang dirahmati Allah, saya memandang bahwa pesan ayah Anda itu mengindikasikan perhatian beliau yang cukup baik terhadap keberagamaan Anda. Apa yang beliau yakini haram ia pesankan untuk dihindari dan makna sebaliknya ia memerintahkan kepada Anda untuk mencari alternatif lain yang ia yakini halal. Namun demikian, kebenaran vonis hukum bahwa gaji pegawai negeri itu haram perlu dikaji secara obyektif, lengkap dengan alasan yang mendasarinya.

Haramnya barang ada dua macam, Kertama haram li'ainih (materinya) misalnya babi, bangkai dan benda najis lainnya. Kedua, haram lighairih (karena faktor lainnya) artinya barang itu sendiri secara materi tidak haram, tetapi karena faktor tertentu menjadi haram bagi sebagian pihak (Syarh al-Talwih ‘ala al-Taudhih, III:369).

Di antara faktor di luar materi yang dapat mempengaruhi keharaman barang bagi seseorang adalah; Pertama, masih menjadi milik orang lain dan orang tersebut belum memberi izin, entah itu didapat dengan cara mencuri, merampas, mengghashab (menggunakan tanpa izin tanpa bermaksud memiliki). Kedua, didapat melalui transaksi yang tidak sah, seperti hasil riba, judi, hasil PSK. Dan Ketiga adalah nyata-nyata termasuk dalam ta'awun 'alal itsm (saling membantu dalam perbuatan dosa) misalnya, hasil penjualan anggur atau gandum ke pabrik minuman keras, hasil pengerjaan bangunan untuk judi atau pelacuran, menjual senjata kepada musuh dan sebagainya. Barang yang dijual dan yang didapat serta transaksinya sebenarnya tidak masalah, tetapi bila semua itu bertujuan atau berakibat mengokohkan kebatilan atau kemaksiatan, maka hasil tersebut menjadi haram.

Sebagaimana pertanyaan yang anda sampaikan, tampak bahwa ayah anda memberikan alasan pengharaman itu disebabkan oleh salah satu faktor lain tersebut yaitu mengingat kekayaan negara ini berasal dari berbagai sektor yang sebagiannya jelas haram, misalnya pajak minuman keras, pajak tempat hiburan berbau maksiat, hasil transaksi ribawi dan sebagainya yang menjadikan harta negara tidak bersih halal semua, tetapi menjadi harta campuran antara yang haram dan halal. Pada sisi lain, negara sendiri merupakan wadah besar yang mencakup berbagai sektor kerja yang jelas sebagian besarnya adalah halal dan sebagian lain adalah haram seperti lokalisasi dan bursa efek yang ribawi.

Untuk mensikapi kondisi demikian Rasulullah s.a.w memberikan contoh konkrit sebagaimana riwayat Aisyah r.a., ia berkata: “Rasulullah s.a.w membeli makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran tunda (hutang) dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan” (HR. Bukhari).

Sikap Rasulullah ini memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa transaksi yang sah dengan pihak lain atas barang yang halal secara material --walaupun ada kemungkinan haram disebabkan faktor lain-- maka barang itu halal, tanpa ada keharusan untuk menelusur asal-usul barang tersebut. Sikap Nabi dengan tidak menanyai asal mula makanan yang beliau beli adalah dalil yang jelas atas hal di atas, padahal Yahudi kafir itu adalah pihak yang sangat potensial untuk mendapatkan barang dagangan melalui transaksi yang tidak sah. Walaupun demikian, Nabi menerima begitu saja tanpa menanyakannya. Begitu pula yang dilakukan para sahabat dan tak satupun ulama yang berpendapat akan wajibnya seseorang menyakan asal-usul barang orang lain yang menjadi obyek transaksi demi mendapat keyakinan akan kehalalan barang tersebut. Selama barang itu bukan haram li'ainih alias halal lizatih, maka transaksi yang benar secara syariat menjadikan suatu barang berpindah milik secara sah dan halal. Syariat tidak menuntut manusia untuk menelusur asal-usul harta pihak lain.

Kesimpulannya dalam kasus pegawai negeri, selama dia bekerja pada sektor yang halal, maka gajinya yang berupa uang itu adalah halal. Wallahu a’lam

Sumber : Hidayatullah.com




Tidak ada komentar:

Posting Komentar